Jika
direnungkan mulai dari prinsip-prinsip sampai tujuannya, maka ibadah itu ibarat
sebuah jalan di gunung yang sulit ditempuh, penuh dengan rintangan, bencana,
berjarak jauh, banyak musuh dan penghalang tapi sedikit yang mengikutinya.
Mula-mula orang yang melakukan perjalanan
ibadah itu seperti dalam firman Allah:
“ Maka apakah orang-orang yang dibukakan
Allah hatinya untuk (menerima) agama islam lalu ia mendapat cahaya dari
Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)”
( QS. Az-Zumar : 22, )
yaitu kesadaran bahwa ternyata dirinya adalah
seorang hamba yang diberi nikmat oleh Dzat yang memberi nikmat yang menuntut
agar bersyukur dan berkhidmat kepada-Nya. Jika lalai Tuhan akan mencabut nikmat
itu dari dirinya dan menggantinya dengan siksa. Dia juga telah dikirimi seorang
utusan lengkap dengan mukjizatnya, yang mengabarkan bahwa dirinya mempunyai
Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Pengampun. Saat itulah ia
terdorong untuk beribadah kepada Tuhan pemberi Nikmat. Tuhan yang memiliki
janji dan ancaman. Tapi ia tak tahu caranya, maka ia belajar syariat.
Ketika hendak memulai ibadah, tiba-tiba
terlintas bahwa ia hamba yang penuh dosa. Maka ia bertobat.
Berhasil dalam
pertobatan, ia akan melanjutkan perjalanan ibadah lagi. Tiba-tiba ia melihat
disekitarnya ada penghalang yang akan menjauhkannya dari tujuan perjalanannya,
yaitu dunia, manusia, syetan dan nafsu.
Untuk mengatasinya, dia harus zuhud dari dunia, uslah dari
manusia, memerangi setan, dan memerangi hawa nafsu. Nafsu inilah yang paling
berat, maka yang dibutuhkan adalah taqwa.
Ia berjalan kembali pada tujuan ibadah,
tapi segera ditentang oleh 4 hal agar tidak sampai pada tujuan. Yang
pertama, rezeki yang dituntut oleh nafsu dengan mengatakan “Aku disuruh
zuhud, bagaimana aku bisa kuat ibadah kalau rezekiku begini?” Kedua,
kekhawatiran-kekhawatiran terhadap sesuatu yang belum diketahui sehingga
hatinya disibukkan oleh hal itu. Ketiga musibah-musibah yang menimpa dirinya.
Keempat, ketentuan Allah. Untuk dapat meneruskan perjalanannya
ibadahnya, dia harus tawakal, menyerahkan segala urusan kepada Allah (tafwid),
sabar ketika tertimpa musibah, dan menerima (ridha) terhadap semua
ketentuan Allah SWT.
Setelah berhasil mengatasi keempat macam
penentang tadi, ia mulai menapaki jalan ibadah lagi. Nafsu itu malas, tak
mendorong, selalu condong kepada kejelekan. Agar dapat meneruskan perjalanannya,
ia membutuhkan sopir yang akan menyemangati dirinya. Sopir itu adalah perasaan
harap-harap cemas dan takut (raja’ dan khauf).
Berkat perasaan harap-harap cemas yang
sudah dimilikinya itu, ia mulai menegakkan lagi perjalanan ibadahnya. Tapi ketika
itu dua bencana sudah tampak lagi, yaitu perasaan ingin dilihat orang (riya’)
dan perasaan senang ketika dilihat orang (ujub). Kalau tidak segera
diatasi, perjalanan ibadahnya tidak akan sampai ke tujuan. Maka perjalanan
ibadah yang dilakukannya harus dilandasi oleh keiklasan dan selalu
mengingat pemberian Allah .
Ia berhasil melalui jalan ini, kembali
ibadah lagi. Pada saat itulah ia melihat dirinya tenggelam di samudera nikmat
Allah yang bermacam-macam, meliputi taufik, penjagaan, dan lain sebagainya. Ia
khawatir lupa bersyukur maka jatuh dalam kekufuran, lalu lengser dari martabat
yang tinggi tadi yaitu martabat pelayan Allah yang ikhlas, dan
hilang semua nikmat itu darinya. Untuk mengatasi hal itu, ia mulai bersyukur
dan memuji Allah SWT.
Ketika selesai melampaui ini, dan turun
dari “jalan ibadah” yang penuh rintangan tadi, maka itulah sebenarnya yang ia
cari selama ini. Sekarang sudah dijumpai dihadapannya. Ia sudah tidak berjalan
kecuali sedikit hingga jatuh dalam keluasan Tuhan, padang kerinduan dan cinta
Ilahi. Ia teranugerahi dalam keadaan yang begini ini.
Lalu ia dipindahkan kepada kebaikan jiwa
dan sesempurna-sempurnanya manusia dari alam fana ini ke hadirat Ilahi dan
tempat di taman syurga. Maka ia melihat bahwa dirinya yang lemah dan fakir, itu
mempunyai Tuhan, dan disana ia bertemu dengan Tuhan. Setiap harinya ia berada
dalam tambahan nikmat terus.
·
Buya,
No 3 Th VI Juli 2001 /dikutip dari karya Imam Al Ghazali
Allah berfirman :
“Wahai para hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya
bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja, tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati, kemudian hanyalah kepada Kami kalian dikembalikan. Dan orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal-amal
shalih sesungguhnya akan kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di
dalam syurga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal didalamnya,
itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, yaitu yang
bersabar dan bertawakal kepada Rabbnya. ( Al. Ankabuut : 56-59 )
Dan orang-orang yang sabar karena mengharap
keridhoaan Tuhannya, mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rizkinya yang
Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan serta
menolak kejahatan dengan kebaikan, orang itulah yang mendapat kesudahan (yang
baik), (yaitu) Syurga Adn yang mereka masuk kedalamnya bersama-sama dengan
orang-orang yang sholeh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya,
sedang malaikat-malaikat masuk ketempat mereka dari semua pintu “ Keselamatan
atasmu berkat kesabaranmu!” alangkah baiknya tempat kesudahan itu. ( Ar. Ra’du
: 22-24 )
Berhasil dalam pertobatan, ia akan melanjutkan perjalanan ibadah lagi. Tiba-tiba ia melihat disekitarnya ada penghalang yang akan menjauhkannya dari tujuan perjalanannya, yaitu dunia, manusia, syetan dan nafsu. Untuk mengatasinya, dia harus zuhud dari dunia, uslah dari manusia, memerangi setan, dan memerangi hawa nafsu. Nafsu inilah yang paling berat, maka yang dibutuhkan adalah taqwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar